Jumat, 26 April 2019

Penelusuran Tenun dan Penenun Gedog Warisan Budaya Asal Tuban

| Jumat, 26 April 2019
Cenun gedog adalah sebuah karya yang merangkum semua simbol identitas berbagai macam agama yang pernah dianut oleh masyarakat Tuban sejak ratusan tahun lalu.

Pembuatan tenun ini sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit berdiri pada abad 14 yang awalnya digunakan sebagai pakaian raja, para bangsawan, dan yang memiliki darah biru sebagai keturunan kerajaan.

Kain yang dpergunakan juga disesuaikan dengan kasta yang ada di kerajaan. Hanya motif-motif tertentu yang dapatdipergunakan oleh masyarakat pada umumnya.

Sampai saat ini budaya menggunakan kain tenun masih dilakukan oleh masyarakat Tuban, khususnya bagi penduduk desa Kedung Rejo, Kecamatan Kerek.

Di sana, masyarakat masih percaya memakai tenun batik gedog akan menghindarkan dari berbagai macam bala, atau justru membawa keberuntungan, seperti ketika akan memulai kegiatan bercocok tanam di ladangnya.

Pentingnya arti sebuah kain tenun (yang akan dipakai) oleh masyarakat menjadikan mayoritas kaum perempuan di desa ini mampu membuat kain tenun batik gedog secara turun-temurun.

Dari Sisi ini, patut dibanggakan. Tatkala di daerah lain, jumlah penenun merosot, di desa Kedung Rejo ini para perempuannya mengerjakan tenun gedog secara berkesinambungan.

Menuju Kerek tidaklah mudah. Saat kami berkunjung ke sana pada bulan September 2017 yang lalu, kami menyewa mobil, dan karena beberapa ruas jalan sedang diperbaiki, maka jarak dari Bandara Djuanda yang sekitar 130 km, ditempuh dalam waktu tiga jam.

Lagipula jalur Surabaya—Tuban termasuk jalur padat, dalam arti banyak sekali dilalui oleh kendaraan pribadi maupun komersial.

Untuk mencapai kota Tuban, terlebih dahulu kami melewati kota Gresik yang terkenal dengan pabrik semen Gresik dan Holcim.

Di luar ruas jalan yang sedang diperbaiki, kondisi jalan cukup mulus. Mendekati kota Tuban, terlihat ladang tanaman jagung, juga pohon-pohon kapas sepanjang 8—10 KM.

Sayangnya ketika kami bertanya pada penduduk Tuban di mana letak Kerek atau jalan mana yang harus kami ambil untuk bisa sampai ke desa tersebut, tiga orang penduduk (di lokasi yang berbeda) menjawab tidak tahu.

Sampai akhirnya kami bertemu seorang supir mobil bak terbuka yang akan mengantar bahan bangunan ke desa Kerek. Lalu kami disarankan mengikuti mobilnya.

Perjalanan hanya memakan waktu sekitar 30 menit dari pusat kota Tuban, dan kami pun sampai ke desa Kedung Rejo dan Kanjuran di Kecamatan Kerek tempat penduduk perempuannya mahir membuat tenun gedog.

Sesampainya di Kecamatan Kerek, desa ini sekilas tampak seperti desa-desa pada umumnya di wilayah pulau Jawa. Puluhan rumah bergaya rumah tradisional Jawa (beberapa memiliki joglo, di halaman depan) terdapat di kiri kanan jalan. Yang cukup unik adalah jenis gentengnya.

Tidak ada rumah dengan genteng baru, semuanya genteng-genteng lama buatan tahun 1940 atau 1950an, sepertinya sejak rumah itu dibangun. Hal ini menandakan jenis dan materi genteng di desa tersebut sangat baik.

Begitu kami keluar dari mobil dan hendak memasuki salah satu rumah, samar-samar terdengar suara dog... dog... dog... bersahutan seperti kayu beradu dengan kayu. Dan suara itu semakin nyaring ketika kami memasuki rumah bu Uswatun Chasanah, pengelola Sanggar Batik Tenun Gedog Sekar Ayu.
Ternyata asal suara itu dari tiga orang perajin tenun yang tengah menenun di area belakang rumah yang berhalaman sangat luas.

Konon, nama tenun gedog diambil dari suara "dog...dog...dog..." di saat para penenun membuat sehelai kain tenun khas Tuban. Suara beradunya kayu dengan kayu pada saat proses pembuatan sebuah kain tenun itulah yang menginspirasi nama hasil karya tersebut menjadi tenun gedog.
Malah beberapa orang menyebutnya sebagai gedogan, untuk memperjelas bahwa tenun ini dibuat dengan tangan dan bukan mesin.



Uswatun Chasanah mengungkapkan, tenun gedog merupakan satu-satunya tenun yang ada di Indonesia yang memakai bahan baku kapas yang hanya ada di Kecamatan Kerek.

Belum ada penelitian yang pasti terkait hal ini, namun setiap kapas yang ditanam memiliki dua warna yakni putih bersih dan cokelat sogan.

"Satu-satunya di Indonesia ada kapas putih dan cokelat, dan masih diproses tenun dengan alat tradisional," katanya.

Proses penanaman yang berbeda, yang dilakukan oleh masyarakat Tuban menjadi faktor utama yang membuat warna kapas di kawasan tersebut, berbeda dengan yang dihasilkan di tempat-tempat lain.
Di Tuban, pola menanam kapas memakai metode penanaman tumpang sari. Ketika ladang jagung mulai menguning, juga ketika tanaman padi (di sawah) batangnya mulai menunduk, bibit kapas ditanam.

Kebiasaan itulah yang dilakukan oleh masyarakat Kerek dalam menanam tanaman kapas untuk kebutuhan benang tenun gedog.

Ada dugaan, zat-zat yang terkandung pada tanaman induknya yakni jagung atau padi membuat kapas yang diproduksi oleh masyarakat penduduk berbeda dengan kapas dari tempat lainnya. "Di sini ladang yang semula ditanami jagung, di bagian bawahnya sudah ditanami kapas sebelum jagung dipanen," kata Uswatun.

Kain tenun gedog bagi masyarakat Kerek mempunyai arti sendiri, yakni sebagai penanda status sosial. Semakin banyak seseorang mempunyai kain tenun gedog, menandakan ia memiliki tingkat perekonomian di atas rata-rata masyarakat lainnya.

Memiliki kain tenun sejak dahulu memang diwajibkan untuk masyarakat Kerek. Baik untuk dipakai saat upacara adat, atau dipakai sehari-hari, karena dengan memakainya, dipercaya kain itu dapat menjaga kesehatan dari gangguan-gangguan yang tidak kasat mata.

Dalam setiap keluarga wajib memiliki kain tenun, untuk berbagai keperluan adat. Seperti misalnya saat pernikahan. Ada kebiasaan untuk saling bertukar 100 lembar kain tenun antara pengantin laki-laki dan perempuan. Keluarga Usawatun memiliki koleksi sekitar 700 lembar kain tenun gedog.
Koleksi sebanyak itu, selain didapatkan saat pernikahan, Uswatun juga sering membeli dari penduduk sekitar.

"Para penenun itu sering membutuhkan uang. Tenun gedog yang dibatik ini harganya mahal, di atas satu juta rupiah. Sering terjadi, belum ada pembeli yang datang sementara pengrajin sudah membutuhkan uang untuk biaya hidup. Ya saya beli saja, karena saya tahu proses pembuatannya sulit dan lama, juga menggunakan bahan alami untuk pewarnaan."

Selain dibutuhkan untuk melengkapi acara pernikahan, setiap diadakan ritual adat, semisal untuk mengucap syukur pada Allah atas segala karunia yang diterima, penduduk hadir dengan memakai kain tenun.

Dalam kehidupan masyarakat Tuban, khususnya Kecamatan Kerek, segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan selalu dibalas dengan melakukan ritual.

Apakah di saat memperoleh kemujuran maupun ketidakberuntungan, masyarakat akan melakukan selamatan dengan tujuan agar kemujuran yang dianugerahkan kepada masyarakat dapat terus terjaga bahkan meningkat terus.

Juga agar ketidakberuntungan yang terjadi pada masyarakat dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari.

Kaum perempuan di Kerek melakukan pekerjaan menenun di mana saja, tidak terbatas di dalam rumah atau ruangan. Ada yang menenun di belakang rumah beralaskan tikar, atau di serambi depan rumah dengan beralaskan sebatang kayu pohon untuk tempat duduknya, bahkan ada yang menenun di dekat kandang sapi atau kambing.

Dalam kondisi sangat sederhana para penenun menghasilkan kain tenun gedog yang berkualitas untuk kemudian dibatik atau dijual dalam keadaan asli.

Mayoritas para penenun di kawasan Kerek memang belum hidup sejahtera. Membuat tenun bukan menjadi mata pencaharian utama para perajin. Mereka masih menjadikan berladang dan bertani sebagai pekerjaan utama.

Ketika masuk musim tanam, para penenun berhenti menenun dan mengerjakan kegiatan berladang dan bertani. Usai musim penghujan dan masuk ke musim kemarau penenun berhenti berladang dan bertani.

Mereka berbondong-bondong mencari pekerjaan menenun untuk mengisi waktu, sekaligus mencari uang. Warsitiatun (46) perajin tenun mengakui, tenun merupakan pekerjaan sampingan untuk mengisi waktu luang di sela-sela bertani dan berladang.

Jadi, pada setiap bulan kain tenun yang dihasilkan mencapai 3-4 potong setiap musim penghujan, namun pada musim kemarau panjang, tenun yang dihasilkan akan meningkat secara signifikan hingga 10-11 potong per bulan.

"Yah saya menenun hanya di malam hari. Siang hari saya di pertanian, jadi saya bisa mendapatkan tiga potong per bulan, itu sudah cukup banyak. Mengingat itu kan hanya pekerjaan sampingan, hitung-gitung sebagai kerja lembur di rumah," katanya.

Meskipun menenun merupakan pekerjaan sampingan bagi mayoritas kaum perempuan di Kerek, mereka masih melakukan apa yang diharuskan secara adat, yaitu setiap perempuan diwajibkan mampu membuat kain tenun.

Dahulu, kaum ibu harus mewariskan kemampuan menenun kepada anak perempuan secara bertahap.
Masih jelas dalam ingatan Warsitiatun pada tahun 1987, ibunya mengajarinya membuat tenun dan dalam waktu singkat, ia pun mampu menguasainya. Kala itu, setiap perempuan yang bisa menenun, juga menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi keluarganya.

Pihak keluarga akan melakukan pesta kecil-kecilan (selamatan) sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kemampuan menenun yang diberikan pada anaknya.

Setiap penenun yang memiliki lahan seperti Warsitiatun pasti lebih memilih berladang dan bertani, karena penghasilannya berlipat-lipat dibandingkan penghasilan sebagai penenun.

Namun, penghasilannya sebagai penenun, tetap dibutuhkan untuk menambah modal mengelola lahan pertaniannya. Bisa untuk membeli bibit, pupuk, dan lain-lain.

"Banyak penghasilan di ladang, tapi banyak keluar duit juga untuk bibit, pupuk, dan obat-obat. Kalau menenun kan hanya memerlukan benang," katanya menjelaskan. Alasan lain mengapa dirinya terus menekuni kerja sampingannya menenun, karena mudah untuk menyalurkan kain tenun olahannya kepada pengepul.

la tidak usah bingung mencari konsumen yang hendak membeli hasil tenunnya, demikian juga soal benang yang dibutuhkan untuk memproduksi kain tenun. la bisa mendapatkannya dari pengepul.

Dia merasa sistem koperasi yang diterapkan oleh pengepul terhadap dirinya telah berpengaruh terhadap kehidupannya. Dari mulai mendapatkan benang dengan harga yang sepantasnya, tanpa perlu memilih benang sendiri ke pasar yang jaraknya cukup jauh (kira-kira 1 km).

Kemudian, ketika sedang ditimpa kemalangan, pengepul dapat menolong memberikan pinjaman uang tanpa bunga kepadanya.

Harga yang diberikan oleh pengepul pada setiap kain tenun produksinya relatif cukup tinggi yakni mencapai Rp200.OOO,- untuk setiap lembar kain, dikurangi biaya lima ukel benang yang per ukel harganya Rp16.OOO,-, untuk satu kain berukuran 90x250cm.

Jadi rata-rata pendapatannya dalam satu bulan di musim penghujan bisa mencapai sekitar Rp300.OOO,- hingga Rp600.OOO,- dalam waktu dua minggu. Memasuki musim kemarau panjang, pendapatannya dari menenun bisa meningkat dua kali lipat.

Harga yang diperoleh Warsitiatun itu karena hasil tenunnya dianggap termasuk yang berkualitas cukup bagus dengan tolok ukur: kerapian, kebersihan, dan kekuatan tenun.

Oleh karena itu ia sering diajak bekerja sama oleh pengepul untuk mengerjakan sejumlah pesanan tenun yang akan dijual di Bali atau dikirim ke luar negeri.

Demi menjaga kualitas kain tenun tetap prima, masyarakat Kerek hanya mau membuat kain tenun gedog dengan menggunakan benang pintalan dari kapas yang disebut "benang lawe".

Mereka tidak bisa membuat tenun gedog dari benang lain yang diolah oleh pabrik, alasannya benang yang diproduksi pabrik secara massal tak sebaik benang produksi rumahan. Dan itu sangat berpengaruh pada hasil akhirnya, yaitu selembar tenun gedog yang lebih kuat tenunannya.

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar